Beranda | Artikel
Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Dien dan Iman
Sabtu, 4 September 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas

Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Dien dan Iman adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas pada Sabtu, 07 Dzulhijjah 1442 H / 17 Juli 2021 M.

Kajian Tentang Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Dien dan Iman

Kita masih membahas poin yang ke-42 tentang Prinsip Ahlus Sunnah Tentang Dien dan Iman. Pembahasan yang terakhir sampai poin yang ke-7.

Kedelapan, Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblat (kaum Muslimin) secara mutlak dengan sebab perbuatan maksiat dan dosa besar yang mereka lakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij, bahkan persaudaraan iman mereka tetap terpelihara, meskipun berbuat maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujuraat: [9]: 3)

Pada ayat ini Allah tetep menyebutkan di sini dengan kalimat “iman”, padahal jelas terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kaum muslimin. Allah tidak mengkafirkan mereka.

Di dalam hadits disebutkan:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kufur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dijelaskan oleh para ulama bahwa maksud kufur di sini adalah كفر دون كفر (kufur dibawah kekufuran), bukan berarti mereka kafir keluar dari agama Islam.

Ini adalah prinsip yang besar bagi orang yang beriman. Adapun Khawarij mereka mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar dari kaum muslimin. Ini telah kita bahas pada kajian Ahlus Sunnah Adalah Ahlul Wasath (Pertengahan).

Kesembilan, Ahlus Sunnah tidak mencabut nama iman secara keseluruhan dari orang Islam yang fasiq dalam agama ini dan tidak menghukuminya kekal dalam Neraka, sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah. Orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat dikatakan tidak sempurna imannya.

Khawarij mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar, maka dikatakan dia kafir (keluar dari agama Islam) dan di akhirat kekal dalam api neraka. Mu’tazilah mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan dosa besar, maka dikatakan dia tidak mukmin dan tidak kafir. Prinsip mereka adalah منزلة بين المنزلتين (dia berada di satu tempat di antara dua tempat). Kedua pendapat ini sesat.

Adapun Ahlus Sunnah mengatakan bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat tidak dikafirkan, tapi dikatakan tidak sempurna imannya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لاَ يَزْنِى الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيْهَا أَبْصَارَهُمْ حِيْنَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.

“Tidaklah berzina seorang pezina, ketika berzina ia dalam keadaan beriman, tidaklah seorang pencuri, ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah seorang peminum khamr, ketika ia meminumnya ia dalam keadaan beriman, tidaklah seorang yang menjarah suatu jarahan yang berharga yang disaksikan oleh manusia, ketika menjarahnya ia dalam keadaan beriman.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan: “Hadits ini termasuk yang diikhtilafkan maknanya dan perkataan yang paling shahih yang dikatakan oleh para peneliti bahwa maknanya yaitu, tidaklah melakukan perbuatan dosa dan maksiat ketika seseorang dalam keadaan sempurna imannya. Dan ini termasuk lafazh-lafazh yang menafikan sesuatu, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah dinafikan tentang kesempurnaan imannya. Dan kami menafsirkan seperti yang disebut di atas dengan dasar hadits dari Abu Darda’ yang shahih, di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah’, ia akan masuk Surga, meskipun ia berzina dan mencuri.” (Syarah Muslim: II/41).

Dalam hadits ini, dinafikannya iman tidak berarti dinafikannya Islam. Karena iman itu lebih khusus dari Islam, sebagaimana Allah berfirman:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ…

“Orang-orang Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ‘Kami Muslim, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (QS. Hujuraat[49]: 14).

Maka, kesimpulannya adalah bahwa setiap Mukmin itu adalah Muslim, akan tetapi tidak setiap Muslim itu adalah Mukmin. (Syarah Shahih Muslim: I/145).

Mereka (Ahlus Sunnah) mengatakan: “Orang yang berbuat fasiq itu berkurang imannya, atau beriman dengan imannya, dan fasiq dengan perbuatan dosa besarnya. Tidak diberi nama iman secara mut-lak dan tidak dicabut juga secara mutlak.”

Iman Bertambah dan Berkurang

Dalil-dalil dari ayat Al-Qur’an tentang bertambahnya iman ada dalam surat Ali ‘Imran: 173, Al-Anfaal: 2, At-Taubah: 124, Al-Ahzab: 22, Al-Fath: 4 dan Al-Muddatstsir: 31.

Para ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat-ayat di atas tentang bertambah dan berkurangnya iman. Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya: “Apakah iman bertambah dan berkurang?” Beliau menjawab: “Tidakkah kalian membaca ayat Al-Qur’an?

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RasulNya) yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya: ‘Orang-orang Quraysy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka,’ ternyata ucapan itu menambah kuat iman mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.’” (QS. Ali ‘Imran[3]: 173)

Pelajaran dalam ayat ini bahwa orang beriman ketika ditakut-takuti, maka bertambah iman mereka. Hal ini karena mereka mempunyai hubungan yang kuat kepada Allah.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (Al-Kahfi[18]: 13)

Kemudian ditanya lagi: “Apa dalilnya berkurangnya iman?” Jawab beliau: “Tidak ada sesuatu yang bertambah melainkan ia juga berkurang.”

Hal ini juga sesuai dengan apa yang dilakukan Imam Al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahiihnya yang memuat bab زيادة الإيمان ونقصانه (Bab bertambah dan berkurangnya iman).”

Kalimat “iman bertambah dan berkurang” adalah untuk membantah Murjiah. Sebab Murjiah mengatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Artinya (menurut mereka) bahwa orang yang berbuat dosa dan maksiat imannya tetap, tidak berkurang. Padahal jika demikian justru Murjiah menganjurkan orang untuk berbuat maksiat. Bahkan mereka mengatakan imannya orang sekarang sama dengan imannya para sahabat. Ini pendapat yang sesat dan menyesatkan.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download Mp3 Kajian Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Dien dan Iman


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/50646-prinsip-ahlus-sunnah-dalam-dien-dan-iman/